M.K.
Sosiologi Umum Hari,
Tanggal: Rabu, 9 Desember
2013
Praktikum ke-9 Ruang/Kelas : R.K. CCR 1.03
“WEWENANG DAN KEKUASAAN”
M. Arfanul
Aziz / F24130121
Asisten
Praktikum:
Ramadhian /
H54110003
Caesar Pratama
/ H54110059
“TERJADINYA
PEMUSATAN KEKUASAAN
Catatan
Untuk Bachrun Martosukarto”
(Oleh:
Sulardi)
Setelah
53 tahun Indonesia merdeka bangsa ini masih terengah-engah untuk menciptakan
bangunan hukum yang kokoh dan demokratis terbukti dengan belum terciptannya
suasana yang demokratis sesungguhnya karena tidak adanya keseimbangan kekuasaan
antara presiden sebagai pemegang kekuasaan legislative dengan dewan perwakilan
rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislative. Terjadinya pemusatan kekuasaan berpangkal pada
demokratisasi yang tidak berjalan, hal ini terlihat jelas dalam penyusunan
peraturan perundangan yang cenderung mengarah pada semakin besarnya kekuasaan
presiden. Misalnya , maklumat pemerintah tanggal 4 November 1945 yang
menggunakan system pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer, dekrit
presiden 5 Juli 1959 banyak terjadi penyimpangan konstitusi, muncul pula TAP
MPRS yang mengangkat Ir Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Sejak itu
tatanan Negara ini berada di bawah panji Orde Baru yang akan melaksanakan UUD
secara murni dan konsekuen, akan tetapi dalam upaya memberlakukan UUD belum
mencerminkan demokrasi, sebab lembaga penyusunan UU, yakni DPR dan Presiden
belum bisa “berdiri sama tinggi duduk sama rendah”.
Dengan
menitikberatkan pada sisi ini, maka waktu itu ada dua pilihan, yakni pemerataan
dan pertumbuhan. Dengan demikian , maka muncul doktrin bahwa apa yang dikatakan
pemerintah adalah benar, munculnya paket-paket UU politik ( UU pemilu, UU
Kedudukan dan Susunan MPR/DPR/DPRD, UU parpol, UU ormas dan UU referendum)
merupakan contoh betapa semakin ompongnya DPR dalam melaksanakan fungsinya. Di
sisi lain, ketika pertumbuhan ekonomi sudah membaik pemerintah tidak segera
mengalihkan kemudi pembangunan ekonomi dan pertumbuhan kearah pemerataan. Sebab
yang seharusnya presiden itu hanya seolah-olah sebagai mandataris MPR, tapi
sehubungan dengan tanda petik telah dihilangkan, menjadikan presiden
sungguh-sungguh mandataris MPR, di samping hal tersebut di atas, Konstitusi
Indonesia yakni UUD 1945, member peluang presiden untuk mendominasi dalam
pembuatan Undang-undang. Kondisi tersebut di atas lebih diperparah dengan
komposisi DPR yang tidak mencerminkan struktur masyarakatnya, ternyata situasi
yang berkembang semakin mengarah pada kondisi bahwa terciptanya UU tidak
dilakukan secara demokratis, bahkan cenderung ditentukan oleh presiden yang
pada akhirnya menjurus pada pemusatan kekuasaan.
“PENGGULINGAN
KEKUASAAN ANTARA ORLA DAN ORBA”
(Oleh:
Panji Semirang)
Pengertian
Orde Lama adalah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara zaman Presiden
Soekarno, tatanan yang berusaha melakukan koreksinya disebut Orde Baru,
kemudian dikoreksi lagi oleh Orde yang lebih Baru. Pertumpahan darah pergantian Orla dilakukan oleh PKI
yang kemudian terjadi balas dendam yang cukup dashyat, pertumpahan darah
pergantian Orba dilakukan oleh orang – orang bersenjata terhadap pendemo di
Universitas Trisakti (12/5). Mahasiswa pada awalnya bergerak mengadakan aksi
atas moral, semua system yang diberlakukan dengan bengkok agar diperbaiki
secara mendasar. Kobaran aksi demo lebih dipicu dengan mengorbankan jiwa
pendemo, korban jiwa jatuh pada waktu demo di depan Istana Merdeka tahun 1966.
Jatuhnya korban di Universitas Trisakti memicu percepatan aksi reformasi
selanjutnya, pada demo 1966 nilai rupiah dikebiri dari Rp 1000 mejadi Rp 1
disusul dinaikkannya harga bensin. Kedua demo antara lain disebabkan oleh
parpol yang pongah dan presiden yang sangat berkuasa.
RPKAD (
kini Kopassus ) pada pergantian Orla adalah kekuatan utama yang luar biasa.
Sementara itu, KKO-AL ( kini Marinir ) berada di pihak pemerintah ( Bung Karno
),di mata mahasiswa, Marinir mendapat tempat yang baik karena mereka simpatik.
Pada awal Orba, makin lama hubungan pendemo dan ABRI itu makin erat, ada yang
mengatakan hubungan itu berupa partnership tapi ada pula yang menyebutnya
tunggang menunggangi, media massa kali ini juga sangat membantu pendemo, pada
tahun 1966 tidak ada korban jiwa lebih banyak, pada demo 1998,
penculikan,penembakan, dan kerusuhan konon terkoordinasi. Presiden Soekarno
mundur melalui dua proses, yang pertama menyerahkan semacam mandate melalui
Surat Perintah 11 Maret, kedua partai-partai Islam di DPR mengeluarkan
pernyataan agar Presiden Soekarno mundur. Presiden Soeharto mundur hanya dengan
satu langkah besar, dia diturunkan setelah mahasiswa dan pimpinan DPR
mengultimatum agar wakil-wakil rakyat segera mengadakan siding.
“SAMPANG
DAN TRADISI PERLAWANAN”
(Oleh:Anwar
Hudijono)
Acap kali mendengar daerah Sampang, orang luar
mengasosiasikan dengan sosok masyarakat yang sifatnya kaku dan keras, seperti
yang terjadi pada tahun 1933. Ketika masyarakat petani miskin bertelanjang
kaki, bermata nanar, tanpa rasa takut menyongsong terjangan peluru aparat
militer untuk mempertahankan martabat dan hak-hak mereka atas tanah yang akan
dijadikan waduk, peristiwa itu dinamakan Peristiwa Nipah. Pada tahun 1997
masyarakat bergolak menentang hasil pemilihan umum karena dinilai tidak jujur
dan adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk menenangkan partainya, Golkar,
akhirnya pencoblosan diulang di beberapa TPS. Peristiwa ini dicatat sebagai
cikal bakal penting perjuangan demokrasi di Indonesia, Sampang yang memberikan
ilham masyarakat lain bahwa kalau mebangun demokrasi, jangan cuma bicara teori
tetapi harus melalui action melawan rezim otorian. Untuk itulah, ketika ada
gelagat pemerintah pusat hendak menganulir Fadhilah Budiono yang terpilih
menjadi Bupati Sampang periode 200-2005 lantaran diprotes PKB, masyarakat
melawan, malam harinya Mendagri dan Otonomi Daerah Surjadi Soedirja menerbitkan
surat keputusan yang mengesahkan Fadhilah.
Perlawanan
merupakan ornamen kultural Sampang, ketika rezim Orde Baru melakukan
penggarapan partai-partai politik untuk memenangkan Golkar, Sampang menjadi
basis perlawanan NU pada Pemilu 1971. Pada pemilu 1982, Sampang tetap menjadi
pusat perlawanan, hasilnya PPP mendapat 23 kursi, Golkar 9 kursi,pada pemilu
1987, Golkar mengubah taktis tidak melakukan pertempuran frontal tetapi dengan
cara membelah ulama. PPP turun menjadi 20, Golkar 16 dan PDI kosong. Untuk
itulah pada pemilu 1992 pemerintah militer dan Golkar berpadu untuk merealisasi
program “Golkarkan Sampang”, Golkar untuk pertama kali menang telak dengan 23
kursi, PPP tinggal tersisa 13. Pada pemilu 1997, diwarnai pencoblosan ulang dan
amuk mas, Golkar akhirnya unggul 21 dan PPP 16, Sampang merupakan daerah yang
sulit ditaklukkan karena mereka mewarisi tradisi perlawanan yang terbentuk
melalui perjalanan sejarah yang panjang.