Rabu, 11 Desember 2013

Praktikum SOSUM "Wewenang dan Kekuasaan"

M.K. Sosiologi Umum                Hari, Tanggal: Rabu, 9 Desember 2013
Praktikum ke-9                          Ruang/Kelas : R.K. CCR 1.03

“WEWENANG DAN KEKUASAAN”
M. Arfanul Aziz / F24130121
Asisten Praktikum:
Ramadhian / H54110003
Caesar Pratama / H54110059

TERJADINYA PEMUSATAN KEKUASAAN
Catatan Untuk Bachrun Martosukarto
(Oleh: Sulardi)
Setelah 53 tahun Indonesia merdeka bangsa ini masih terengah-engah untuk menciptakan bangunan hukum yang kokoh dan demokratis terbukti dengan belum terciptannya suasana yang demokratis sesungguhnya karena tidak adanya keseimbangan kekuasaan antara presiden sebagai pemegang kekuasaan legislative dengan dewan perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislative. Terjadinya pemusatan kekuasaan berpangkal pada demokratisasi yang tidak berjalan, hal ini terlihat jelas dalam penyusunan peraturan perundangan yang cenderung mengarah pada semakin besarnya kekuasaan presiden. Misalnya , maklumat pemerintah tanggal 4 November 1945 yang menggunakan system pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer, dekrit presiden 5 Juli 1959 banyak terjadi penyimpangan konstitusi, muncul pula TAP MPRS yang mengangkat Ir Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Sejak itu tatanan Negara ini berada di bawah panji Orde Baru yang akan melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen, akan tetapi dalam upaya memberlakukan UUD belum mencerminkan demokrasi, sebab lembaga penyusunan UU, yakni DPR dan Presiden belum bisa “berdiri sama tinggi duduk sama rendah”.
          Dengan menitikberatkan pada sisi ini, maka waktu itu ada dua pilihan, yakni pemerataan dan pertumbuhan. Dengan demikian , maka muncul doktrin bahwa apa yang dikatakan pemerintah adalah benar, munculnya paket-paket UU politik ( UU pemilu, UU Kedudukan dan Susunan MPR/DPR/DPRD, UU parpol, UU ormas dan UU referendum) merupakan contoh betapa semakin ompongnya DPR dalam melaksanakan fungsinya. Di sisi lain, ketika pertumbuhan ekonomi sudah membaik pemerintah tidak segera mengalihkan kemudi pembangunan ekonomi dan pertumbuhan kearah pemerataan. Sebab yang seharusnya presiden itu hanya seolah-olah sebagai mandataris MPR, tapi sehubungan dengan tanda petik telah dihilangkan, menjadikan presiden sungguh-sungguh mandataris MPR, di samping hal tersebut di atas, Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945, member peluang presiden untuk mendominasi dalam pembuatan Undang-undang. Kondisi tersebut di atas lebih diperparah dengan komposisi DPR yang tidak mencerminkan struktur masyarakatnya, ternyata situasi yang berkembang semakin mengarah pada kondisi bahwa terciptanya UU tidak dilakukan secara demokratis, bahkan cenderung ditentukan oleh presiden yang pada akhirnya menjurus pada pemusatan kekuasaan.

PENGGULINGAN KEKUASAAN ANTARA ORLA DAN ORBA
(Oleh: Panji Semirang)
Pengertian Orde Lama adalah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara zaman Presiden Soekarno, tatanan yang berusaha melakukan koreksinya disebut Orde Baru, kemudian dikoreksi lagi oleh Orde yang lebih Baru. Pertumpahan darah pergantian Orla dilakukan oleh PKI yang kemudian terjadi balas dendam yang cukup dashyat, pertumpahan darah pergantian Orba dilakukan oleh orang – orang bersenjata terhadap pendemo di Universitas Trisakti (12/5). Mahasiswa pada awalnya bergerak mengadakan aksi atas moral, semua system yang diberlakukan dengan bengkok agar diperbaiki secara mendasar. Kobaran aksi demo lebih dipicu dengan mengorbankan jiwa pendemo, korban jiwa jatuh pada waktu demo di depan Istana Merdeka tahun 1966. Jatuhnya korban di Universitas Trisakti memicu percepatan aksi reformasi selanjutnya, pada demo 1966 nilai rupiah dikebiri dari Rp 1000 mejadi Rp 1 disusul dinaikkannya harga bensin. Kedua demo antara lain disebabkan oleh parpol yang pongah dan presiden yang sangat berkuasa.
          RPKAD ( kini Kopassus ) pada pergantian Orla adalah kekuatan utama yang luar biasa. Sementara itu, KKO-AL ( kini Marinir ) berada di pihak pemerintah ( Bung Karno ),di mata mahasiswa, Marinir mendapat tempat yang baik karena mereka simpatik. Pada awal Orba, makin lama hubungan pendemo dan ABRI itu makin erat, ada yang mengatakan hubungan itu berupa partnership tapi ada pula yang menyebutnya tunggang menunggangi, media massa kali ini juga sangat membantu pendemo, pada tahun 1966 tidak ada korban jiwa lebih banyak, pada demo 1998, penculikan,penembakan, dan kerusuhan konon terkoordinasi. Presiden Soekarno mundur melalui dua proses, yang pertama menyerahkan semacam mandate melalui Surat Perintah 11 Maret, kedua partai-partai Islam di DPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soekarno mundur. Presiden Soeharto mundur hanya dengan satu langkah besar, dia diturunkan setelah mahasiswa dan pimpinan DPR mengultimatum agar wakil-wakil rakyat segera mengadakan siding.

SAMPANG DAN TRADISI PERLAWANAN
(Oleh:Anwar Hudijono)
Acap kali mendengar daerah Sampang, orang luar mengasosiasikan dengan sosok masyarakat yang sifatnya kaku dan keras, seperti yang terjadi pada tahun 1933. Ketika masyarakat petani miskin bertelanjang kaki, bermata nanar, tanpa rasa takut menyongsong terjangan peluru aparat militer untuk mempertahankan martabat dan hak-hak mereka atas tanah yang akan dijadikan waduk, peristiwa itu dinamakan Peristiwa Nipah. Pada tahun 1997 masyarakat bergolak menentang hasil pemilihan umum karena dinilai tidak jujur dan adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk menenangkan partainya, Golkar, akhirnya pencoblosan diulang di beberapa TPS. Peristiwa ini dicatat sebagai cikal bakal penting perjuangan demokrasi di Indonesia, Sampang yang memberikan ilham masyarakat lain bahwa kalau mebangun demokrasi, jangan cuma bicara teori tetapi harus melalui action melawan rezim otorian. Untuk itulah, ketika ada gelagat pemerintah pusat hendak menganulir Fadhilah Budiono yang terpilih menjadi Bupati Sampang periode 200-2005 lantaran diprotes PKB, masyarakat melawan, malam harinya Mendagri dan Otonomi Daerah Surjadi Soedirja menerbitkan surat keputusan yang mengesahkan Fadhilah.
          Perlawanan merupakan ornamen kultural Sampang, ketika rezim Orde Baru melakukan penggarapan partai-partai politik untuk memenangkan Golkar, Sampang menjadi basis perlawanan NU pada Pemilu 1971. Pada pemilu 1982, Sampang tetap menjadi pusat perlawanan, hasilnya PPP mendapat 23 kursi, Golkar 9 kursi,pada pemilu 1987, Golkar mengubah taktis tidak melakukan pertempuran frontal tetapi dengan cara membelah ulama. PPP turun menjadi 20, Golkar 16 dan PDI kosong. Untuk itulah pada pemilu 1992 pemerintah militer dan Golkar berpadu untuk merealisasi program “Golkarkan Sampang”, Golkar untuk pertama kali menang telak dengan 23 kursi, PPP tinggal tersisa 13. Pada pemilu 1997, diwarnai pencoblosan ulang dan amuk mas, Golkar akhirnya unggul 21 dan PPP 16, Sampang merupakan daerah yang sulit ditaklukkan karena mereka mewarisi tradisi perlawanan yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang.